Cahaya di Antara Lembaran Mushaf

Hening pagi di musala sekolah seakan makin terasa ketika satu per satu ayat dilantunkan. Setiap huruf yang terucap bagaikan tetesan cahaya yang menembus hati, mengingatkan kita bahwa Al-Qur’an bukan sekadar kitab bacaan, melainkan petunjuk hidup yang menuntun langkah—dari bangun tidur hingga kembali merebahkan diri di malam hari.

Sering kali kita tergesa?gesa menyelesaikan halaman demi halaman, seolah target jumlah bacaan adalah tujuan utama. Padahal, di balik setiap ayat terdapat ajakan lembut untuk berhenti sejenak, meneladani kisah para nabi, dan bertanya pada diri: Apakah akhlak kita sudah mencerminkan apa yang baru saja dilafalkan? Renungan sederhana ini mengasah kepekaan nurani, menumbuhkan kesadaran bahwa keberkahan terletak pada pemahaman dan pengamalan, bukan sekadar bacaan yang tuntas.

Bagi para pelajar, tadarus bersama bukan hanya latihan tajwid dan kelancaran baca. Ia menanamkan disiplin—datang tepat waktu, menjaga kebersihan, mematuhi giliran. Ia melatih tanggung jawab kolektif—memperhatikan teman yang kurang fasih, membenarkan dengan sopan, saling mendoakan. Inilah pendidikan karakter yang lahir alami di tengah lantunan tilawah: kejujuran, kesabaran, kesetiakawanan.

Mari jadikan setiap huruf yang kita baca sebagai doa agar hati tetap jernih, pikiran tetap kritis, dan tindakan tetap santun. Sebab pada akhirnya, generasi Qur’ani bukan dinilai dari seberapa banyak ayat dihafal, melainkan seberapa kuat cahaya Al-Qur’an terpancar dalam perilaku sehari-hari—di rumah, di sekolah, dan di masyarakat. Semoga Allah memberi kekuatan agar kita mampu menjaga cahaya itu, menebarkannya, dan mewariskannya kepada semesta yang kelak mereka—anak-anak didik kita—akan pimpin.