Cahaya di Balik Mushaf

Pagi itu, cahaya matahari belum sepenuhnya menerobos sela-sela jendela Mushala Al-Falah di SMP Negeri 2 Kota Bima. Udara masih sejuk, dan langit sedikit berawan. Di barisan terdepan, duduklah tiga orang siswa: Arfan, Rehan, dan Nisa. Mereka membuka mushaf masing-masing, bersiap memulai tadarus seperti biasa setiap Jumat pagi.

Arfan, yang dikenal jahil di kelas, justru paling duluan hadir pagi itu. Ia menunggu temannya dengan mushaf di tangan, dan matanya tak lepas dari huruf-huruf Arab yang perlahan mulai akrab baginya. Bukan karena dia hafal banyak surah, tapi karena ada yang berubah dalam dirinya sejak sebulan terakhir.

Semuanya berawal saat Arfan diminta menggantikan temannya yang sakit untuk memimpin tadarus. Ia ragu, takut salah baca, takut ditertawakan. Tapi ternyata, setelah ia selesai membaca, teman-temannya justru memberi semangat. Sejak saat itu, hatinya seperti disentuh lembut oleh cahaya yang tidak ia mengerti.

“Arfan, tadi malam sudah murojaah?” bisik Rehan pelan.

“Sudah. Tapi aku masih salah-salah di ayat ke-7,” jawabnya jujur.

Nisa yang duduk di samping mereka tersenyum. “Tenang saja, kalau niatnya belajar karena Allah, insya Allah dimudahkan.”

Mereka pun mulai membaca bergantian. Suara Nisa yang lembut menyusul suara Rehan yang mantap, dan Arfan yang perlahan semakin percaya diri. Di sela-sela bacaan, mereka saling mengoreksi dan memperbaiki tajwid.

Setelah selesai membaca, suasana hening sejenak. Hanya terdengar detik jam dinding. Lalu Rehan berkata lirih, “Kita lanjutkan minggu depan?”

“Tidak,” jawab Arfan, “kita lanjutkan besok. Aku ingin kita bertiga khatam sebelum liburan.”

Nisa dan Rehan tersenyum lebar. Di antara lantunan ayat dan suasana khidmat, tumbuh semangat dan persahabatan yang tulus. Tadarus bukan lagi kewajiban, melainkan kebutuhan. Seperti air di tengah dahaga, atau cahaya yang menuntun arah.

Karena mereka sadar, bukan hanya suara mereka yang sedang dibaca oleh langit, tapi juga harapan-harapan kecil yang mengendap di hati: menjadi anak saleh dan salehah, menyejukkan orang tua, dan kelak menjadi pemimpin yang adil dan jujur.

Dan di mushala sederhana itu, tumbuh cahaya yang tak pernah padam—cahaya dari balik mushaf.